Thursday, September 17, 2009

Malaikat Tak bersayap (part I)

Malaikat tak Bersayap

Aku memaksakan tubuhku yang tak kuat lagi berjalan. Ya.. ini semua kulakukan untuk bundaku. Dia terlihat sangat cemas. Padahal terapi ini sudah yang ke 14 kalinya. Tapi tetap saja, dia yang paling terlihat tidak siap, saat melihat dokter dokter itu menyiksaku. (Maaf ya om dokter..hhaha, aku Cuma bercanda kok).
Nama ku Arneta Anastasia. Orang orang biasa memanggilku Arnet. Aku anak ke 3 dari 3 bersaudara. 2 kakak laki laki ku terlahir kembar. Yah.. keberadaan mereka terkadang menjadi keberuntungan sekaligus musibah untukku. Hhaa.. ya..mungkin salah satunya karena wajah lumayan keren yang mereka miliki. Banyak kakak kelas perempuan yang menyerbu ku ketika pertama kali aku masuk SMA. Mereka bergantian mengorek informasi tentang ke2 kakakku. Tapi, untungnya aliran sogokkan berupa coklat, permen dsb yang mereka limpahkan padaku demi informasi informasi yang ku berikan tak pernah berhenti mengalir (Lumayan.. itung itung coklat dan permen gratisan…hhhe). Hhh repotnya... . Ups.. aku telalu panjang bercerita ya??
Aku menghela nafas ku panjang. Hh..lagi lagi disini. Lagi lagi saat di ruangan inilah aku melenyapkan semua impian ku untuk menjadi designer terkenal dan mempunyai boutique suatu saat nanti. Aku meremas kertas, yang sebelumnya sudah aku gambari sebuah rancangan gaun pengantin. Karena aku sadar, aku tak berhak mempunyai impian seindah itu. Itu semua tak akan pernah menjadi kenyataan bahkan saat aku belum sempat memulainya.
2 tahun lalu dokter memberitahu ku bahwa aku positif terserang Gulian Bare Syndrom. Mungkin banyak dari kalian yang bertanya, penyakit semacam apakah yang menyerang tubuhku ini, yang mampu membuat semua impianku gugur begitu saja? Gulian Bare Syndrom atau yang biasa disingkat GBS adalah sebuah penyakit yang menyerang system syaraf manusia secara bertahap. Mula mula dia akan menyerang kaki, sampai aku sulit berjalan, sampai akhirnya menyerang system pernafasanku hingga akhirnya aku sulit bernafas dan akan mati. Tragis memang kedengarannya. Aku pun awalnya sulit menerima semua ini. Tapi akhirnya orang orang sekeliling dapat menyadarkanku bahwa tidak ada gunanya jika aku terus menyesali sesuatu yang tidak akan hilang sekalipun aku mengeluarkan semua air mata yang aku punya. Yang terpenting adalah bagaimana aku menggunakan sisa waktu yang aku milikki untuk membantu orang lain dan memberikan kenangan yang terindah tentangku bagi mereka.
Sebuah ajakan suster menyadarkanku kembali ke dunia nyata. “Arnet, ayo kita ke ruang terapi.. Dokter Richard udah nunggu kamu manis..” ucap suster yang mungkin usianya sudah sekitar 25 tahunan. Selain cantik, dia juga sabar sekali merawatku saat terapi sedang berlangsung. Dia mendorong kursi roda yang aku duduki. Sesekali kami mengobrol tentang sekolahku, teman temanku dan bahan pembicaraan menarik yang lain.
Aku sampai diruang terapy dan terlihat seorang pria berusia 27 tahunan yang berdiri ditengah ruangan itu. Jika bukan karena wajahnya yang tampan dan suaranya yang lembut, aku tak akan rela di terapy olehnya. Karena semua terapy terapy itu selalu berhasil mebuatku menangis hingga sesegukan.
Terapy selesai setelah kurang lebih setengah jam. “ Suster, bisa tinggalin aku sendiri kan?? Aku lagi mau cari ilham nih, buat desain baju yang mau aku buat..” ucap ku pada suster Rita setelah ia mengantarku ke taman Rumah Sakit. Dia tersenyum padaku lalu sedetik kemudian berjalan meninggalkanku.
Animasi animasi ku mulai berkembang sejalan dengan goresan goresan pensil di buku sketsa yang aku pegang. Tanganku berhenti seketika saat melihat cowok seumuranku yang juga duduk di kursi roda tak jauh dari tempatku duduk. Seorang wanita setengah baya yang mungkin ‘ibunya’ mendorong kusi rodanya sampai ke tepi kolam ikan, lalu berlalu meninggalkannya.
Aku melihat jam tangan mickey mouse-ku. “jam 10 lewat sedikit” gumamku. Cowok itu memang selalu muncul jam segini. Aku hafal karena aku selalu melihatnya saat aku melukis ditaman Rumah Sakit ini. Tapi anehnya, raut mukanya selalu sama sejak pertama kali aku melihatnya ditaman ini sekitar 4 bulan yang lalu. Murung.
Dilihat dari postur tubuhnya, terlalu bertolak belakang dengan kursi roda yang sekarang ia duduki. Dia tinggi. Dengan kulitnya yang putih bersih membuatnya tertlihat keren. Hhaa dan itu salah satu alasannya mengapa aku selalu memperhatikannya. Tangannya terlihat memegang sebuah bola basket orange. Tapi semenit kemudian, dia terlihat mendribel bola basketnya ke tanah. Aku sempat merengut melihat tindakannya itu. Apa tidak sulit mendribel sebuah bola basket dengan posisi duduk di kursi roda seperti itu? Tanyaku dalam hati. Tapi lamunanku terhenti saat aku sadar bola itu sekarang sedang menuju ke arahku. Lalu sedetik kemudian mendarat di kepalaku. “auuw…!!!” teriakku sepontan. Aku memang duduk tak jauh darinya, tapi aku tak pernah menyangka bola itu akan menyinggahi kepala ku. Tidak adil. Bola itu menyerangku dalam keadaan ku yang agak lemah seperti ini, sehingga aku tidak sempat menghindar. Untungnya tidak kencang.
Aku mengusap kepala ku yang sekarang agak terasa nyut nyut-an. Lalu meraih bola basket itu yang jatuh tak jauh dari kursi rodaku. Aku menoleh ke arah cowok itu. Dia melihatku tanpa ekspresi lalu menjulurkan tangannya. Maksudnya mungkin untuk meminta bola basketnya. Baru saja aku mengambil ancang ancang untuk mengembalikan bola itu, wanita tadi yang mengantarnya, kembali dan segera mendorongnya kembali ke kamarnya. “Yah… terus gimana balikin bolanya nih?? Besok kan gue udah boleh pulang??..” tanyaku sendiri seperti orang gila.

@ @ @

“Jam 10 pas.. kok dia belum keliatan juga ya ??..” ucapku pelan. Hari ini aku sudah tidak lagi memerlukan kursi roda. Kondisiku sudah lebih baik dari kemarin. “ah.. akhirnya tu cowok dateng juga..” lanjutku setelah melihatnya datang dan duduk sama persis di tempat kemarin pagi, yaitu tepi kolam ikan. Aku berjalan mendekatinya dan duduk tepat diatas kursi taman yang ada disebelah kursi rodanya. Hari ini dia memakai sebuah kaus krem putih garis garis yang membuatnya terlihat semakin keren.
“hai…” ucapku memulai pembicaraan. “hai..” jawabnya malas malasan. Aku mulai berfikir, dia sepertinya agak jutek. “Nih bola basket loe.. kemaren sempet namu ke kepala gue..” ucapku bercanda. Aku sedikit tertawa. Tapi tawaku terhenti saat cowok itu tak menyambut tawaku. Dia malah asyik mengambil bola itu dari tanganku. “Sorry..gue ngga sengaja” jawabannya yang singkat itu sempat membuatku sedikit menganga. “Nama gue Arneta.. gue juga pasien di Rumah Sakit ini. Tapi, hari ini gue udah boleh pulang..” lanjutku tak putus asa memulai pembicaraanya dengannya. “Gue Radit..” jawabnya singkat dan lagi lagi tak lebih dari 5 kata. “Gila nii cowok pelit amat ngomong doang.. gue curiga jangan jangan, dia ngerasa kalo ngomong itu bayar pake duit kali ya? Hhh..” ucapku dalam hati. Aku mulai memperhatikannya sama seperti hari hari sebelumnya. Namun kali ini, aku berada dekat sekali dengannya. Bayangkan, tak lebih dari 10 cm. Tapi anehnya dia cuek sekali walaupun aku jelas jelas memandanginya dari jarak sedekat itu. Aku mulai tertegun saat lebih dalam memperhatikan cowok itu. Ternyata, sikapnya yang sedikit dingin padaku, tak mampu mebuat rasa kagum ku padanya menghilang. Tapi tiba tiba Bunda memanggilku dari depan pintu kamar. “Arnet !!!.. pulang yuk sayang.. Ayah udah nunggu dari tadi loh..” panggil bunda ku. Aku mulai bangkit dari tempat duduk ku. Mungkin kalau Bunda tak mengajakku pulang, aku tak akan berhenti memandanginya seharian. “emh..Ra.. Radit.. gue balik duluan yah..” ucapku. “Iyah.. makasih..” jawabnya sambil mengangguk. Tapi pandangannya tak lepas dari bola basket yang dari tadi asyik dia mainkan.

@ @ @

No comments:

Post a Comment